Senin, 14 Juli 2014

Fenomena Kehidupan Pengemis di Indonesia

Indonesia adalah negara yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Namun sayangnya hal tersebut tidak memacu semangat sebagian orang di negara ini untuk memajukan hidup dan negaranya. Terbukti dari banyaknya orang yang memilih untuk menjadi seorang pengemis ketimbang mencari pekerjaan lain yang lebih bermanfaat.
Sungguh disayangkan bahwa saat ini para pengemis di Indonesia menjadikan kegiatan “mengemis” mereka sebagai pekerjaan tetap. Dan para pengemis tersebut tidak mau mencoba mencari pekerjaan lain yang lebih baik karena mengemis lebih mudah dilakukan, hanya mengandalkan belas kasihan dari orang lain. Selain itu, mereka menganggap bahwa hidup mereka menjadi lebih baik karena hasil (uang) yang mereka dapatkan dari mengemis.
Bagi masyarakat Indonesia, pengemis bagaikan suatu kedok yang ironis. Karena kesan yang biasa mereka tampilkan pada masyarakat tidak sesuai dengan keadaan mereka yang sebenarnya. Kesan lusuh, miskin, bahkan berpenyakit rata-rata hanya akting dan sebuah kebohongan belaka. Terlebih lagi banyaknya media-media seperti TV dan Internet yang menayangkan cerita dibalik kehidupan para pengemis di Indonesia. Hal tersebut membuat mata masyarakat seakan terbuka lebar.
Seperti yang terjadi pada Walang bin Kilon (54) dan Sa`aran (60). Dua pengemis asal Subang, Jawa Barat ini membawa uang puluhan juta rupiah saat terjaring razia oleh petugas Suku Dinas Sosial Jakarta Selatan, Selasa (26/11/2013) malam.


Walang dan Sa`aran diciduk petugas dari tempat mereka biasa mangkal di bawah Flyover Pancoran. Yang mengagetkan, dari tangan kedua pengemis itu, petugas menemukan uang tunai sebesar Rp 25 juta yang dsimpan di dalam kantong-kantong plastik hitam yang sangat kotor.

Dalam menjalankan aksinya, masing-masing pria ini mempunyai peran yang berbeda. Walang yang menjadi otak dari kegiatan mengemis tersebut bertindak sebagai pendorong gerobak. Sementara Sa`aran yang lebih tua, berpura-pura sebagai orang sakit yang berada digerobak dan butuh pengobatan.

Walang sendiri mengaku mengemis karena di desanya tidak memiliki pekerjaan lain. Kini, keduanya terpaksa mendekam di Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya (PSBIBD) 2 Jl Raya Bina Marga No 48, Cipayung, Jakarta Timur, untuk menjalani pembinaan.
Kenyataan tragis lainnya adalah bahwa bukan hanya orang- orang yang berusia produktif saja yang mengemis melainkan anak- anak di bawah umur. Salah satu contohnya adalah para “pengemis cilik” di Jombang.

“Pengemis cilik” yang beroperasi di sejumlah tempat di Jombang ini, ternyata terbilang besar. Mereka mengaku, mampu mengantongi Rp 100 ribu per hari. Dalam satu bulan, penghasilan mereka mencapai angka Rp 3 juta. Angka sebesar ini, dua kali lipat lebih tinggi dari Upah Minimum Kabupaten (UMK) Jombang yang hanya Rp 1,5 juta.
Para “pengemis cilik ini” rata-rata berusia 6 tahun hingga 11 tahun. Dan mereka biasa beroperasi di Pasar Legi Citra Niaga (PLCN),  alun-alun, serta persimpangan lampu merah. Itu seperti yang dapat kita temui di kawasan PLCN Jombang. Sejumlah pengemis cilik berinisial FB, RG, RN, serta RS melakukan aktivitasnya dari pagi hingga siang. Mereka mengaku bahwa tidak ada bos yang menyuruh mereka mengemis. Mereka melakukan itu karena ajakan dari sang Ibu yang juga berlaku sebagai seorang pengemis.
Mereka mengatakan, meski setiap hari mencari rezeki dengan meminta-minta, mereka menggantungkan cita-cita cukup tinggi. Ada yang ingin menjadi polisi, guru, dan dokter. Namun, saat ditanya sampai kapan akan mengemis, mereka terdiam, dan hanya menggelengkan kepala.
 Mengetahui hal tersebut, akhirnya masyarakat menyadari bahwa pengemis hanyalah sebuah kedok dan “seragam” untuk mencari uang secara cepat, tanpa membutuhkan usaha yang berat. Ketika mereka melepas “seragam” yang mereka pakai, bukan tidak mungkin kalau mereka ternyata orang yang lebih “mampu” dari orang yang memberinya.
Namun bukan berarti semua pengemis itu hanya kedok belaka, kita tidak bisa men-judge semua pengemis seperti itu. Mungkin diantara mereka ada yang memang benar-benar membutuhkan dan tidak mampu.
Jika dikaitkan denga teori, maka sudah terjadi Stereotype terhadap pengemis, mereka menyeragamkan pengemis sebagai orang- orang yang malas bekerja dan hanya ingin mendapatkan uang secara cepat tanpa berusaha. Melihat banyak berita tentang pengemis yang hanya sebuah kedok semata, semakin menguatkan penilaian seperti itu terhadap pengemis. Walaupun mungkin ada beberapa diantaranya yang memang membutuhkan dan tidak mampu.


Daftar Pustaka

1 komentar:

  1. GOLDEN CROWN POKER DENGAN 7 GAMES TERPERCAYA
    BONUS NEW MEMBER 20%
    BONUS HARIAN 10%
    BONUS ROLLINGAN UP TO 0.5%
    BONUS REFFERAL 10% (SEUMUR HIDUP)
    CONTACT KAMI
    WA : +85570598711
    LINE : GOLDENCROWNPOKER
    BBM : E3F53E29

    BalasHapus

 
Copyright 2012 Andri's Blog. Powered by Blogger
Blogger by Blogger Templates and Images by Wpthemescreator
Personal Blogger Templates